Orang Kaya yang Menginspirasi

Kisah ini aku dengar pada kajian menjelang Ramadhan di Surabaya (Kota Perjuanganku dulu)
oleh ustadz Syafiq Basalamah hafidzohullah...

Pada Suatu hari ada seseorang dari kalangan orang yang kurang berada, dari golongan menengah ke bawah mondar-mandir karena memikirkan masalahnya.Tahukah Anda apakah masalah yang sedang dia hadapi sekarang...? Benar sekali, masalah finansial.Dia mempunyai hajat yang harus segera dia penuhi, untuk keluarganya, sedangkan masalahnya dia adalah orang yang miskin tidak memiliki penghasilan yang lebih untuk kebutuhan-kebutuhan selain makannya. Untuk makanpun mungkin pas-pasan..

Dia memiliki inisiatif untuk menanyakan masalahnya kepada seorang syaikh di kotanya, barangkali syaikh tersebut mampu memberikan solusi untuk permasalahannya.Setibanya di kediaman syaikh, dia langsung meminta nasehat dan bantuan kepada syaikh tersebut...

Alhasil syaikh tersebut tentu tidak mampu untuk membantu permasalahan finansialnya tersebut.

Syaikh tersebut hanya memintanya untuk terus berusaha dan berdoa kepada Allah ta'ala, agar Allah membantunya dan memudahkan rezekinya.Kemudian dia berkata kepada syaikh, sesungguhnya dia telah berusaha dan berdoa, hanya saja dia belum mendapatkan kebutuhannya...


Kemudian, Syaikh tersebut memberikan solusi untuknya,

Syaikh bertutur, "Pergilah engkau ke daerah ini, kemudian carilah saudagar kaya bernama Fulan, dia adalah orang yang paling rigan tangan, dan paling dermawan di kota tersebut. Rumahnya ada di depan masjid (tidak disebut namanya) dikota tersebut, temuilah dia di masjid tersebut, karena dia senantiasa sholat 5 waktu di masjid tersebut. Mungkin dia dapat membantumu atau paling tidak engkau dapat meminjam uang darinya"

Kemudian orang miskin tadi berkata, "Baiklah syaikh, jazakumullahu khairan..."

Orang miskin tadi bergegas menuju kota yang disampaikan. Tibalah dia di masjid depan rumah sang saudagar...Dia berkata, "Subhanallah, masjid yang megah..."

Ketika dia datang telah masuk waktu dhuhur, sehingga iapun segera berwudhu dan mengikuti jama'ah dhuhur di masjid itu.Setelah selesai sholat, dia keluar masjid untuk menunggu sang saudagar kaya, sehingga dia bisa menyampaikan hajatnya kepadanya. Dia bertanya kepada para jama'ah di masjid itu tentang si Fulan saudagar kaya itu. Kemudian para jama'ah menunjukkannya bahwa Si Fulan yang dimaksud sedang duduk di shoff terdepan dengan ciri-ciri demikian dan demikian.

Dia berinisiatif untuk menunggunya, karena merasa tidak enak mengganggu sang saudagar di dalam masjid.5 menit waktu berjalan, dia mondar mandir di serambi masjid ...

10 menit waktu berjalan, sang saudagar belum jua keluar dari masjid...

15 menit berjalan, dia melihat sang saudagar masih mengangkat tangannya, bermunajad dan berdoa kepada Allah...

20 menit, 30 menit, 1 jam, hingga hampir menjelang waktu sholat ashar ... (Subahanallah)

Sang saudagar masih dengan doa dan munajadnya yang khusyu' kepada Allah ta'ala...

Sudah merasa lelah menunggu, orang miskin tadi merenung...

Bagaimana bisa seorang yang kaya raya, seorang saudagar terpandang, begitu lamanya dia memohon, meminta, dan bermunajad kepada Robb-nya...?

Kemudian dia tersadar bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Kaya, Yang memberikan Rezeki kepada makhluknya, semuanya...Yang senantiasa mendengar doa dan rintihan hambanya...Yang maha kuasa atas segala sesuatu...yang senantiasa memenuhi kebutuhan hambanya, yang meminta kepada-Nya...Sehingga orang yang kayapun tidak pernah terlepas dari pertolongan Allah ta'ala,

tidak pernah terlepas dari kebutuhannya kepada Allah ta'ala...Sungguh Allahlah yang memberikan rezeki hambanya,

karena Dialah Yang Menciptakan,

Dialah Yang Mengatur,

Dialah yang Merajai dan Menguasai segalanya.

Dialah Robbul 'alamin...

Setelah merenung, dia membulatkan tekat untuk kembali tanpa menemui sang saudagar...Dia kembali menemui syaikh yang dia minta nasehat tentang permasalahannya...Syaikh berkata kepadanya, "Bagaimana keadaanmu, apakah engaku telah mendapatkan yang engkau inginkan...?"

Dia menjawab, "Alhamdulillah keadaanku lebih baik dari sebelumnya, aku telah mendapatkan lebih dari yang aku inginkan...

Aku mendapatkan hikmah yang besar yang membuatku tersadar, bahwa tidak ada yang bisa mengabulkan dan memberikan ku pertolongan kecuali Allah.

Allahlah yang memberikan rezeki bukan yang selain-Nya...

Allahlah Yang Maha mendengar, bukan selain-Nya...

Allahlah yang mengabulakan segala permintaan, bukanlah selain-Nya...Aku, akan meminta langsung kepada-Nya wahai syaikh..."

Syaikh berkata, "Alhamdulillah, semoga dia mengabulkan apa yang engkau inginkan wahai anakku..."

(Kisah ini di nukil dengan banyak perubahan)

 Selesai ditulis oleh Al-Alkh Aldy Sefan Rezanaldy
pada bulan dimana para manusia berhaji

Untukmu Muslimah, Diantara Adab Bergaul

Dilahirkan sebagai seorang wanita adalah anugerah yang sangat indah dari Allah Ta’ala. Sebuah anugerah yang tidak dimiliki oleh seorang pria. Terlebih anugerah itu bertambah menjadi muslimah yang mukminah yaitu wanita muslimah yang beriman kepada Allah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.(HR. Muslim)

Menjadi wanita muslimah yang beriman kepada Allah tentu tidak mudah,karena banyak sekali godaan-godan dalam mencapainya. Dikarenakan  balasan yang Allah janjikan pun tidak terbandingkan dan semua wanita pun menginginkannya. Godaan-godaan untuk menjadi wanita shalihah sering kali datang dan menggebu-gebu saat kita menginjak usia remaja,di mana masa pubertas seorang wanita ada di masa ini. Bukan hal yang mudah pula bagi remaja muslim dalam melewati masa ini, namun sungguh sangat indah bagi para remaja yang bisa dikatakan lulus dalam melewati masa pubertas yang penuh godaan ini.

Salah satu godaan yang amat besar pada usia remaja adalah “rasa ketertarikan terhadap lawan jenis”. Memang, rasa tertarik terhadap lawan jenis adalah fitrah manusia, baik wanita atau lelaki. Namun kalau kita tidak bisa memenej perasaan tersebut,maka akan menjadi mala petaka yang amat besar,baik untuk diri sendiri ataupun untuk orang yang kita sukai. Sudah Allah tunjukkan dalam sebuah hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
 
فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.(HR. Muslim)

Sebagai wanita muslimah kita harus yakin bahwa kehormatan kita harus dijaga dan dirawat, terlebih ketika berkomunikasi atau bergaul dengan lawan jenis agar tidak ada mudhorot (bahaya) atau bahkan fitnah. Di bawah ini akan kami ungkapkan adab-adab bergaul  dengan lawan jenis. Di antaranya:


Pertama: Dilarang untuk berkholwat (berdua-duan)

TTM, teman tapi mesra, kemana-mana bareng, ke kantin bareng, berangkat sekolah bareng, pulang sekolah bareng. Hal ini merupakan gambaran remaja umumnya saat ini,di mana batas-batas pergaulan di sekolah umum sudah sangat tidak wajar dan melanggar prinsip Islam. Namun tidak mengapa kita sekolah di sekolah umum jika tetap bisa menjaga adb-adab bergaul dengan lawan jenis. Jika ada seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan maka yang ketiga sebagai pendampingnya adalah setan.

Dari ‘Umar bin Al Khottob, ia berkhutbah di hadapan manusia di Jabiyah (suatu perkampungan di Damaskus), lalu ia membawakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا
Janganlah salah seorang diantara kalian berduaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya) karena setan adalah orang ketiganya, maka barangsiap yang bangga dengan kebaikannya dan sedih dengan keburukannya maka dia adalah seorang yang mukmin." (HR. Ahmad, sanad hadits ini shahih)

Daripada setan yang menemani kita lebih baik malaikat bukan? Ngaji,membaca Al Quran dan memahami artinya serta menuntut ilmu agama InsyaAllah malaikatlah yang akan mendampingi kita.Tentu sebagai wanita yang cerdas, kita akan lebih memilih untuk didampingi oleh malaikat.


Kedua: Menundukkan pandangan

Pandangan laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya adalah termasuk panah-panah setan. Kalau cuma sekilas saja atau spontanitas atau tidak sengaja maka tidak menjadi masalah pandangan mata tersebut, pandangan pertama yang tidak sengaja diperbolehkan namun selanjutnya adalah haram.Ketika melihat lawan jenis,maka cepatlah kita tundukkan pandangan itu, sebelum iblis memasuki atau mempengaruhi pikiran dan hati kita. Segera  mohon pertolongan kepada Allah agar kita tidak mengulangi pandangan itu.

Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.
"Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengenai pandangan yang tidak di sengaja. Maka beliau memerintahkanku supaya memalingkan pandanganku." (HR. Muslim)


Ketiga: Jaga aurat terhadap lawan jenis

Jagalah aurat kita dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya. Maksudnya mahram di sini adalah laki-laki yang haram untuk menikahi kita. Yang tidak termasuk mahram seperti teman sekolah, teman bermain, teman pena bahkan teman dekat pun kalau dia bukan mahram kita, maka kita wajib menutup aurat kita dengan sempurna. Maksud sempurna di sini yaitu kita menggunakan jilbab yang menjulur ke seluruh  tubuh kita dan menutupi dada. Kain yang dimaksud pun adalah kain yang disyariatkan, misal kainnya tidak boleh tipis, tidak boleh sempit, dan tidak membentuk lekuk tubuh kita. Adapun yang bukan termasuk aurat dari seorang wanita adalah kedua telapak tangan dan muka atau wajah.

 Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
"Wanita itu adalah aurat. Jika dia keluar maka setan akan memperindahnya di mata laki-laki." (HR. Tirmidzi, shahih)


Keempat: Tidak boleh ikhtilat (campur baur antara wanita dan pria)

Ikhtilat itu adalah campur baurnya seorang wanita dengan laki-laki di satu tempat tanpa ada hijab. Di mana ketika tidak ada hijab atau kain pembatas masing-masing wanita atau lelaki tersebut bisa melihat lawan jenis dengan sangat mudah dan sesuka hatinya. Tentu kita sebagai wanita muslimah tidak mau dijadikan obyek pandangan oleh banyak laki-laki bukan? Oleh karena itu kita harus menundukkan pandangan,demikian pun yang laki-laki mempunyai kewajiban yang sama untuk menundukkan pandangannya terhadap wanita yang bukan mahramnya, karena ini adalah perintah Allah dalam Al Qur’an dan akan menjadi berdosa bila kita tidak mentaatinya.


Kelima: Menjaga kemaluan

Menjaga kemaluan juga bukan hal yang mudah,karena dewasa ini banyak sekali remaja yamng terjebak ke dalam pergaulan dan seks bebas. Sebagai muslim kita wajib tahu bagaimana caranya menjaga kemaluan. Caranya antara lain dengan tidak melihat gambar-gambar yang senonoh atau membangkitkan nafsu syahwat, tidak terlalu sering membaca atau menonton kisah-kisah percintaan, tidak terlalu sering berbicara atau berkomunikasi dengan lawan jenis, baik bicara langsung (tatap muka) ataupun melalui telepon, SMS, chatting, YM dan media komunikasi lainnya.

Sudah selayaknya sebagai seorang muslim-muslimah baik remaja atau dewasa, kita mempunyai niat yang sungguh-sungguh untuk mematuhi adab-adab bergaul dengan lawan jenis tersebut. Semoga Allah memudahkan usaha kita. Amin.

Penulis: Ummu Zainab (Santri Ma’had Umar)
Muroja'ah: M.A. Tuasikal

Pacaran dalam Tinjauan Ajaran Islam

Sebuah fitnah besar menimpa pemuda pemudi pada zaman sekarang. Mereka terbiasa melakukan perbuatan yang dianggap wajar padahal termasuk maksiat di sisi Alloh subhanahu wa ta’ala. Perbuatan tersebut adalah “pacaran”, yaitu hubungan pranikah antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom. Biasanya hal ini dilakukan oleh sesama teman sekelas atau sesama rekan kerja atau yang lainnya. Sangat disayangkan, perbuatan keji ini telah menjamur di masyarakat kita. Apalagi sebagian besar stasiun televisi banyak menayangkan sinetron tentang pacaran di sekolah maupun di kantor. Tentu hal ini sangat merusak moral kaum muslimin. Namun, anehnya, orang tua merasa bangga kalau anak perempuannya memiliki seorang pacar yang sering mengajak kencan. Ada juga yang melakukan pacaran beralasan untuk ta’aruf (berkenalan). Padahal perbuatan ini merupakan dosa dan amat buruk akibatnya. Oleh sebab itu, mengingat perbuatan haram ini sudah begitu memasyarakat, kami memandang perlu untuk membahasnya pada kesempatan ini.


Pacaran dari Sudut Pandang Islam

Pacaran tidak lepas dari tindakan menerjang larangan larangan Alloh subhanahu wa ta’ala. Fitnah ini bermula dari pandang memandang dengan lawan jenis kemudian timbul rasa cinta di hati—sebab itu, ada istilah “dari mata turun ke hati”— kemudian berusaha ingin memilikinya, entah itu dengan cara kirim SMS atau surat cinta, telepon, atau yang lainnya. Setelah itu, terjadilah saling bertemu dan bertatap muka, menyepi, dan saling bersentuhan sambil mengungkapkan rasa cinta dan sayang. Semua perbuatan tersebut dilarang dalam Islam karena merupakan jembatan dan sarana menuju perbuatan yang lebih keji, yaitu zina. Bahkan, boleh dikatakan, perbuatan itu seluruhnya tidak lepas dari zina. Perhatikanlah sabda Rosululloh shallallahu’alaihi wa sallam:

“Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperolehnya hal itu, tidak bisa tidak. Kedua mata itu berzina, zinanya dengan memandang. Kedua telinga itu berzina, zinanya dengan mendengarkan. Lisan itu berzina, zinanya dengan berbicara. Tangan itu berzina, zinanya dengan memegang. Kaki itu berzina, zinanya dengan melangkah. Sementara itu, hati berkeinginan dan beranganangan sedangkan kemaluan yang membenarkan itu semua atau mendustakannya.” (H.R. Muslim: 2657, alBukhori: 6243)

Al Imam an Nawawi rahimahullah berkata: “Makna hadits di atas, pada anak Adam itu ditetapkan bagiannya dari zina. Di antara mereka ada yang melakukan zina secara hakiki dengan memasukkan farji (kemaluan)nya ke dalam farji yang haram. Ada yang zinanya secara majazi (kiasan) dengan memandang wanita yang haram, mendengar perbuatan zina dan perkara yang mengantarkan kepada zina, atau dengan sentuhan tangan di mana tangannya meraba wanita yang bukan mahromnya atau menciumnya, atau kakinya melangkah untuk menuju ke tempat berzina, atau melihat zina, atau menyentuh wanita yang bukan mahromnya, atau melakukan pembicaraan yang haram dengan wanita yang bukan mahromnya dan semisalnya, atau ia memikirkan dalam hatinya. Semuanya ini termasuk zina secara majazi.” (Syarah Shohih Muslim: 16/156157)

Adakah di antara mereka tatkala berpacaran dapat menjaga pandangan mata mereka dari melihat yang haram sedangkan memandang wanita ajnabiyyah (bukan mahrom) atau lak-ilaki ajnabi (bukan mahrom) termasuk perbuatan yang diharamkan?!


Ta’aruf Dengan Pacaran, Bolehkah?

Banyak orang awam beranggapan bahwa pacaran adalah wasilah (sarana) untuk berta’aruf (berkenalan). Kata mereka, dengan berpacaran akan diketahui jati diri kedua ‘calon mempelai’ supaya nanti jika sudah menikah tidak kaget lagi dengan sikap keduanya dan bisa saling memahami karakter masing-masing. Demi Alloh, tidaklah anggapan ini dilontarkan melainkan oleh orang-orang yang terbawa arus budaya Barat dan hatinya sudah terjangkiti bisikan setan.

Tidakkah mereka menyadari bahwa yang namanya pacaran tentu tidak terlepas dari kholwat (berdua-duaan dengan lawan jenis) dan ikhtilath (lakilaki dan perempuan bercampur baur tanpa ada hijab/tabir penghalang)?! Padahal semua itu telah dilarang dalam Islam.

Perhatikanlah tentang larangan tersebut sebagaimana tertuang dalam sabda Rosululloh shallallahu’alaihi wa sallam:

“Sekalikali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahromnya.” (H.R. alBukhori: 1862, Muslim: 1338)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa larangan bercampur baur dengan wanita yang bukan mahrom adalah ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Fathul Bari: 4/100)

Oleh karena itu, kendati telah resmi melamar seorang wanita, seorang lakilaki tetap harus menjaga jangan sampai terjadi fitnah. Dengan diterima pinangannya itu tidak berarti ia bisa bebas berbicara dan bercanda dengan wanita yang akan diperistrinya, bebas surat menyurat, bebas bertelepon, bebas berSMS, bebas chatting, atau bercakap-cakap apa saja. Wanita tersebut


Adakah Pacaran Islami?

Ada lagi pemudapemudi aktivis organisasi Islam—yang katanya punya semangat terhadap Islam—disebabkan dangkalnya ilmu syar’i yang mereka miliki dan terpengaruh dengan budaya Barat yang sudah berkembang, mereka memunculkan istilah “pacaran islami” dalam pergaulan mereka. Mereka hendak tampil beda dengan pacaranpacaran orang awam. Tidak ada saling sentuhan, tidak ada pegangpegangan. Masingmasing menjaga diri. Kalaupun saling berbincang dan bertemu, yang menjadi pembicaraan hanyalah tentang Islam, tentang dakwah, saling mengingatkan untuk beramal, dan berdzikir kepada Alloh q serta mengingatkan tentang akhirat, surga, dan neraka. Begitulah katanya!

Ketahuilah, pacaran yang diembelembeli Islam ala mereka tak ubahnya omong kosong belaka. Itu hanyalah makar iblis untuk menjerumuskan orang ke dalam neraka. Adakah mereka dapat menjaga pandangan mata dari melihat yang haram sedangkan memandang wanita ajnabiyyah atau lakilaki ajnabi termasuk perbuatan yang diharamkan?! Camkanlah firman Alloh

“Katakanlah (wahai Muhammad) kepada lakilaki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” Dan katakanlah kepada wanitawanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka” …. (Q.S. anNur [24]: 3031)

Tidak tahukah mereka bahwa wanita merupakan fitnah yang terbesar bagi laki-laki? Rosululloh shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnahnya wanita.” (H.R. al-Bukhori: 5096)


Segeralah Menikah Bila Sudah Mampu

Para pemuda yang sudah berkemampuan lahir dan batin diperintahkan agar segera menikah. Inilah solusi terbaik yang diberikan Islam karena dengan menikah seseorang akan terjaga jiwa dan agamanya. Akan tetapi, jika memang belum mampu maka hendaklah berpuasa, bukan berpacaran. Rosululloh shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Wahai generasi muda, barang siapa di antara kalian telah mampu menikah maka segeralah menikah karena sesungguhnya menikah itu lebih menjaga kemaluan dan memelihara pandangan mata. Barang siapa yang belum mampu maka hendaklah berpuasa karena puasa menjadi benteng (dari gejolak birahi).” (H.R. al-Bukhori: 5066)

Al-Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan: “Yang dimaksud mampu menikah adalah mampu berkumpul dengan istri dan memiliki bekal untuk menikah.” (Fathul Bari: 9/136)

Dengan menikah segala kebaikan akan datang. Itulah pernyataan dari Alloh subhanahu wa ta’ala yang tertuang dalam Q.S. ar-Rum [30]: 21. Islam menjadikan pernikahan sebagai satu-satunya tempat pelepasan hajat birahi manusia terhadap lawan jenisnya. Lebih dari itu, pernikahan sanggup memberikan jaminan dari ancaman kehancuran moral dan sosial. Itulah sebabnya Islam selalu mendorong dan memberikan berbagai kemudahan bagi manusia untuk segera melaksanakan kewajiban suci itu.


Nasihat

Janganlah ikut-ikutan budaya Barat yang sedang marak ini. Sebagai orang tua, jangan biarkan putra-putrimu terjerembab dalam fitnah pacaran ini. Jangan biarkan mereka keluar rumah dalam keadaan membuka aurat, tidak memakai jilbab[1] atau malah memakai baju ketat yang membuat pria terfitnah dengan penampilannya. Perhatikanlah firman Alloh subhanahu wa ta’ala:

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Alloh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. alAhzab [33]: 59)

Wallohu A’lam.
oleh Muklis Abu Dzar hafizhahullah
disalin-tempel dari http://maramissetiawan.wordpress.com/2009/06/25/pacaran-dalam-kacamata-islam/
Sumber: buletin al-Furqon Tahun 3, Vol. 9 no. 3 Bulan Muharram 1430 H
Silahkan mendownload buletin ini dan buletin lainnya disini


FootNote

[1] Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka,
dan dada.

Na'udzu Billah, Masih SMA Sudah Berzina. Adakah Taubat Bagi Pelakunya ?

Pertanyaan :

Saya seorang pelajar SMA, sekarang duduk di kelas 3. Saya telah berbuat zina dengan pacar saya. Apakah dosa zina tak dapat diampuni?
I di L

Pentingnya Solidaritas Islami dan Menjaga Ukhuwah Islamiah

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya dan para pengikutnya.


Solidaritas Islami

Dalam Hadist yang shahih disebutkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Perumpamaan kaum mukminin dalam hal kecintaan, rahmat dan perasaan di antara mereka adalah bagai satu jasad. Kalau salah satu bagian darinya merintih kesakitan, maka seluruh bagian jasad akan ikut merasakannya dengan tidak bisa tidur dan demam” [1]. Dalam hadist lainnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Muslim yang satu dengan muslim yang lainnya seperti sebuah bangunan, saling menguatkan satu dengan yang lainnya”. Beliau sambil menjalinkan jari-jemari beliau [2].

Dalam hadist yang lainnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda, “Barangsiapa memenuhi kebutuhan saudaranya muslim, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya” [3]. Hadist-hadist diatas dan dalil-dalil lainnya dari al Qur’an dan as Sunnah menunjukkan pentingnya solidaritas sesama muslim. Hendaknya setiap muslim senantiasa berusaha memperhatikan dan peduli dengan keadaan muslim yang lainnya dimanapun ia berada.


Hakekat dan Wujud dari Solidaritas Islami

Hakekat dan inti dari solidaritas islami adalah tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, saling menjamin, saling berlemah lembut, saling menasehati dalam al kebenaran dan bersabar atasnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang mana ia memerlukan yang lainnya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Setiap individu manusia diciptakan dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing sehingga diperlukan kerjasama untuk saling melengkapi.
Allah ta’ala berfirman,

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS Al Ma’idah: 2)

Dalam ayat diatas Allah memerintahkan hambaNya untuk selalu tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan dan memperingatkan dari kerjasama dalam perbuatan dosa dan pelanggaran. Ayat diatas bersifat umum, baik dalam perkara-perkara duniawi maupun akhirat. Tidak diragukan lagi hal ini termasuk kewajiban seorang muslim yang paling penting, baik secara individu maupun kelompok. Dengan hal itulah kebaikan akan tercapai bagi kaum muslimin, agama menjadi tegak, problematika-problematikan teratasi, dan barisan mereka menjadi kokoh untuk menghadapi musuh-musuh mereka. Dengan itulah tercapai kebaikan di dunia dan akhirat.

Termasuk wujud dari solidaritas islami adalah beramar ma’ruf nahi munkar, berdakwah ilallah, dan memberi petunjuk manusia pada sebab-sebab kebahagiaan di dunia dan akhirat. Termasuk di dalamnya juga, mengajari orang-orang yang jahil atas urusan agama mereka, menolong orang-orang yang didzolimi, dan mencegah orang-orang yang dzolim atas yang lainnya.

Sebagaiamana kita ketahui di sebagian negara kaum muslimin disana ada kaum muslimin yang faqir, jahl (bodoh) dalam masalah agama, tertindas, dan mengalami berbagai poblematika yang lainnya. Hal tersebut menuntut kita untuk senantiasa bahu-membahu untuk menolong saudara-saudara kita sesuai dengan apa yang kita mampui. Sebagian membantu dengan hartanya, sebagian dengan tenaganya, sebagian dengan ilmu dan pikiran yang ia miliki. Sekecil apapun kontribusi kita bagi kaum muslimin Allah akan membalasnya, Allah berfirman,

وَمَا أَنفَقْتُم مِّن شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya. (QS Saba’: 39)

Allah ta’ala juga berfirman,

وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ اللَّهِ هُوَ خَيْراً وَأَعْظَمَ أَجْراً
Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. (QS Al Muzammil: 20)


Menjaga Ukhuwah Islamiah

Termasuk hakekat solidaritas islami adalah menjaga persatuan diantara kaum muslimin dan melakukan ishlah diantara kaum muslimin yang berselisih. Allah berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS Al Hujurat: 10)

Dia ta’ala juga berfirman,

فَاتَّقُواْ اللّهَ وَأَصْلِحُواْ ذَاتَ بِيْنِكُمْ وَأَطِيعُواْ اللّهَ وَرَسُولَهُ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu. dan ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang  yang beriman (QS al Anfal: 1)

Jelas bahwa kaum muslimin seluruhnya saudara satu dengan yang lainnya, meskipun berbeda-beda warna kulit dan bahasa mereka. Meskipun kampung dan Negara-negara mereka terpencar, Islam telah menyatukan mereka diatas keimanan dan ketaqwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah berfirman,

وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni’mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni’mat Allah, orang-orang yang bersaudara. dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS Al Imran: 103)

Untuk itu islam melarang hal-hal yang dapat memicu perselisihan dan perpecahan diantara kaum muslimin seperti saling mencurigai, saling memata-matai, saling bersu’udzan, dan lainnya. Sungguh indah wasiat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam,  “Jangan kalian saling hasad, jangan saling melakukan najasy [4], jangan kalian saling membenci, jangan kalian saling membelakangi, jangan sebagian kalian membeli barang yang telah dibeli orang lain, dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim bagi lainnya, karenanya jangan dia menzhaliminya, jangan menghinanya, jangan berdusta kepadanya, dan jangan merendahkannya. Ketakwaan itu di sini -beliau menunjuk ke dadanya dan beliau mengucapkannya 3 kali-. Cukuplah seorang muslim dikatakan jelek akhlaknya jika dia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim diharamkan mengganggu darah, harta, dan kehormatan muslim lainnya.” [5]

Semoga Allah menjadikan kita dan kaum muslimin seluruhnya sebagai orang-orang yang saling bersaudara, saling mencintai dan menyayangi, serta saling menasehati dalam kebaikan dan ketaqwaan. Semoga Allah menjadikan kita dan kaum muslimin semuanya menjadi orang-orang yang berpegang teguh dengan KitabNya dan Sunnah nabiNya, karena hanya dengan hal itulah persatuan kaum muslimin diatas kebenaran akan tercapai. Dan akhirnya hanya kepada Allahlah kita menyerahkan seluruh urusan kita, Dialah yang Maha Mampu atas segala sesuatu. Allah berfirman,

لَوْ أَنفَقْتَ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً مَّا أَلَّفَتْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَـكِنَّ اللّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana. (QS Al Anfal: 63).

Semoga bermanfaat, Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulallah serta keluarga dan sahabatnya.

Artikel ini banyak mengambil faedah dari Kutaib “Al Ukhuwah wa Al  Akhlaqu Al Islamiah wa Ta’awanu baina Al Mukminin” oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah.

Selesai ditulis di Riyadh,  4 Shafar 1433 H (29 Desember 2011).
Abu Zakariya Sutrisno
Artikel: www.thaybah.or.id /  www.ukhuwahislamiah.com

Notes:
[1].  HR Muslim (2586)
[2].  HR Bukhari (6027), Muslim (2585)
[3].  HR Bukhari (2442), Muslim (2580)
[4].  Najasy adalah seorang menawar suatu barang dengan harga yang tinggi -padahal dia tidak mau membelinya- untuk memancing orang lain agar menawar dengan harga yang lebih tinggi. Biasanya telah ada kesepakatan antara si penjual dan si pelaku najasy ini. Tidak lain tujuannya untuk mengelabui pembeli sebenarnya.
[5].  HR. Muslim no. 2564

Keindahan Persaudaraan Sesama Muslim

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُوْنُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً . الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَكْذِبُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ . التَّقْوَى هَهُنَا -وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ - بِحَسَبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ رواه مسلم


Dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian saling mendengki! Janganlah saling menipu! Janganlah saling membenci! Janganlah saling membelakangi! Dan janganlah sebagian kalian menjual sesuatu di atas penjualan sebagian yang lain! Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara! Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lainnya. Tidak boleh ia menzhaliminya, tidak boleh mengacuhkannya, tidak boleh berbohong kepadanya, dan tidak boleh meremehkannya/merendahkannya. Takwa itu ada di sini”, -dan beliau menunjuk ke dadanya tiga kali-. “Cukuplah seseorang dikatakan buruk/jahat, jika ia menghina/merendahkan saudaranya yang Muslim. Setiap Muslim atas Muslim yang lainnya, haram (menumpahkan) darahnya, haram (mengambil) hartanya (tanpa hak), dan (mengganggu) harga dirinya/kehormatannya”. Diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Berdasarkan hadist yang telah disampakan Rasulullah diatas, tentu kita dapat melihat bagaimana urgensi persaudaraan sesama muslim yang berlandaskan diatas agama islam, yang risalah ini telah dibawa oleh manusi yang paling agung dan luhur akhlaknya yakni Nabi kita Muhammad shalallohu 'alaihi Wassalam.

Terkadang atau bahkan sering kita tanpa sadar telah berbuat dzolim dan menyakiti hati saudara kita, dan menganggap hal tersebut adalah hal yang sangat remeh. Apa yang keluar dari lisan kita, apa akibat dari tindakan kita, tentunya kita pikir matang sebelum berbuat. Karena bisa jadi hal tersebut menimbulkan akibat fatal bagi diri kita maupun saudara kita.

Sebagai sesama muslim seharusnya kita bisa saling menyayangi dan menghargai satu sama lain, memaklumi dan saling pengertian diantara kondisi saudaranya. Memaafkan dan menasehati dengan cara yang baik apabila terjadi kesalahan dan kekhilafan, bukan malah mengolok dan menghina serta membuka aib.

وَإِن تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Allaah ta’alaa berfirman: “Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni mereka maka sesungguhnya Allah ta’ala Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. at-Taghobun: 14). 


وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ
firman Allah ta’ala: “Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada, apakah kamu tidak ingin jika Allah ta’ala mengampunimu.” (QS. an-Nuur [24]: 22)

وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللهُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang menutupi kejelekan (aib) seorang muslim maka Allaah ta’alaa akan menutupi kejelekan (aib) nya.” (HR. Muslim)

مَنْ سَتَرَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ سَتَرَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Beliau juga bersabda: “Barang siapa yang menutupi aurat (aib) saudaranya (muslim) maka Allaah ta’alaa akan menutupi aurat (aib) nya pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah)

Selama ini, bisa jadi telah menjadi hal yang mudah ketika mengucapkan hadist Rasulullah Shalallahu 'alaihi Wassalam, "tidak dikatakan beriman seorang muslim sebelum mencintai saudaranya seperti dirinya sendiri" atau "sesama muslim adalah saudara, siapa yang menolong saudaranya maka Allah Ta'ala akan menolongnya."

Tetapi pada kenyataannya, apakah kita sudah berlapang dada akan kesalahan saudara kita ? Apakah kita mampu untuk tidak berprasangka terhadapa saudara kita? apakah kita malah menjauhinya ?

Sungguh mudah melupakan kebaikan, tapi sungguh sulit melupakan kesalahan. Apakah hal ini pantas menjadi motto bagi kita yang mengaku berdiri diatas persaudaraan sesama muslim ???

Harusnya kita-pun juga saling bisa menyadari, tidak hanya sekedar menuntut saudara kita, tapi juga melihat bagaimana diri kita.
Apakah kita sudah menjadi saudara yang baik ?
Apakah kita sudah mampu memberi pertongan meski itu hanya sedikit ?
Apakah kita sudah mampu membahagiakan saudara-saudara kita ?
Apakah kita sudah mampu menjadi saudara yang berakhlak dan tidak melakukan kedzoliman ?

Mari saudaraku..
mari kita bersama-sama melangkah dalam kebaikan..
menyusuri jalaan Nya dengan kehangatan ukhuwah..
bukan dengan api prasangka..
bukan dengan kerikil kebencian..
bukan dengan kalimat hinaan..
tapi dengan kasih sayang..
tapi dengan keindahan..
betapa Allaah Ta'alaa sangat menyayangi hamba-hamba Nya yang penuh kasih sayang terhadap makhluk Nya..

-Semoga Bermanfaat- 

Abdurrahman Abu Adillaah

Syair Cinta Dariku

Wahai Saudaraku...
Wahai Saudaraku yang terasingkan..

Biarlah mereka tetap tertawa...
Biarlah mereka tetap mengejek...
Biarlah mereka tetap menghujat..
Biarlah mereka tetap berkendara di atas fitnah...


Sepahit apapun itu...
Sepedih apapun itu..
Sesakit apapun itu....

Kebenaran tetaplah harus dikatakan....,!
Kebenaran tetaplah harus disampaikan...!
Kebenaran tetaplah harus dipertahankan...!

Ingat..
Tawa mereka tak akan mengusik hati yang di atas Sunnah
Ejekan mereka tak akan menciutkan hati yang di atas Sunnah
Hujatan meraka tak akan menggetarkan hati yang di atas Sunnah
Fitnah mereka tak akan menyakiti hati yang di atas Sunnah

Wahai Saudaraku..
Semua yang mereka ulah tidak lain akan menambah manisnya Sunnah..

Wahai saudaraku..
Tetap paculah kudamu..,Tetap kembangkan layar kapalmu...
Tetaplah dalam keterasinganmu...
Kemuliaan di dalam keterasingan..
Keterasingan untuk kemuliaan...

Wahai Saudaraku...
Tetaplah dalam keterasinganmu..
Sampai datangnya Waktu....

Saudaraku....
أنت الجماعة ولو كنت وحدك

مِن الرّجول الّذ يحيبُك في اللّه
أبو عبداللّه محمّد عرفان /معهد طيبة
(dari orang yang mencintaimu karena Allah
Abu Abdillah muhammad 'irfan / ma'had thaybah)

Tidak ada Kata Terlambat untuk Belajar

Ada yang merasa bahwa ia sudah terlalu tua, malu jika harus duduk di majelis ilmu untuk mendengar para ulama menyampaikan ilmu yang berharga dan akhirnya enggan untuk belajar. Padahal ulama di masa silam, bahkan sejak masa sahabat tidak pernah malu untuk belajar, mereka tidak pernah putus asa untuk belajar meskipun sudah berada di usia senja. Ada yang sudah berusia 26 tahun baru mengenal Islam, bahkan ada yang sudah berusia senja -80 atau 90 tahun- baru mulai belajar. Namun mereka-mereka inilah yang menjadi ulama besar karena disertai ‘uluwwul himmah (semangat yang tinggi dalam belajar). Menuntut ilmu agama adalah amalan yang amat mulia. Lihatlah keutamaan yang disebutkan oleh sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu,  “Tuntutlah ilmu (belajarlah Islam) karena mempelajarinya adalah suatu kebaikan untukmu. Mencari ilmu adalah suatu ibadah. Saling mengingatkan akan ilmu adalah tasbih. Membahas suatu ilmu adalah jihad. Mengajarkan ilmu pada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah. Mencurahkan tenaga untuk belajar dari ahlinya adalah suatu qurbah (mendekatkan diri pada Allah).” 

Imam yang telah sangat masyhur di tengah kita, Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Tidak ada setelah berbagai hal yang wajib yang lebih utama dari menuntut ilmu.

Berikut 10 contoh teladan dari ulama salaf di mana ketika berusia senja, mereka masih semangat dalam mempelajari Islam.

Teladan 1 – Dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum

Imam Bukhari menyebutkan dalam kitab shahihnya, “Para sahabat belajar pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru ketika usia senja”.

Teladan 2 – Perkataan Ibnul Mubarok

Dari Na’im bin Hammad, ia berkata bahwa ada yang bertanya pada Ibnul Mubarok, “Sampai kapan engkau menuntut ilmu?” “Sampai mati insya Allah”, jawab Ibnul Mubarok.

Teladan 3 – Perkataan Abu ‘Amr ibnu Al ‘Alaa’

Dari Ibnu Mu’adz, ia berkata bahwa ia bertanya pada Abu ‘Amr ibnu Al ‘Alaa’, “Sampai kapan waktu terbaik untuk belajar bagi seorang muslim?” “Selama hayat masih dikandung badan”, jawab beliau.

Teladan 4 – Teladan dari Imam Ibnu ‘Aqil

Imam Ibnu ‘Aqil berkata, “Aku tidak pernah menyia-nyiakan waktuku dalam umurku walau sampai hilang lisanku untuk berbicara atau hilang penglihatanku untuk banyak menelaah. Pikiranku masih saja terus bekerja ketika aku beristirahat. Aku tidaklah bangkit dari tempat dudukku kecuali jika ada yang membahayakanku. Sungguh aku baru mendapati diriku begitu semangat dalam belajar ketika aku berusia 80 tahun. Semangatku ketika itu lebih dahsyat daripada ketika aku berusia 30 tahun”.

Teladan 5 – Teladan dari Hasan bin Ziyad

Az Zarnujiy berkata, “Hasan bin Ziyad pernah masuk di suatu majelis ilmu untuk belajar ketika usianya 80 tahun. Dan selama 40 tahun ia tidak pernah tidur di kasur”.

Teladan 6 – Teladan dari Ibnul Jauzi

Kata Adz Dzahabiy, “Ibnul Jauzi pernah membaca Wasith di hadapan Ibnul Baqilaniy dan kala itu ia berusia 80 tahun.”

Teladan 7 – Teladan dari Imam Al Qofal

Al Imam Al Qofal menuntut ilmu ketika ia berusia 40 tahun.

Teladan 8 – Teladan dari Ibnu Hazm

Ketika usia 26 tahun, Ibnu Hazm belum mengetahui bagaimana cara shalat wajib yang benar. Asal dia mulai menimba ilmu diin (agama) adalah ketika ia menghadiri jenazah seorang terpandang dari saudara ayahnya. Ketika itu ia masuk masjid sebelum shalat ‘Ashar, lantas ia langsung duduk tidak mengerjakan shalat sunnah tahiyatul masjid. Lalu ada gurunya yang berkata sambil berisyarat, “Ayo berdiri, shalatlah tahiyatul masjid”. Namun Ibnu Hazm tidak paham. Ia lantas diberitahu oleh orang-orang yang bersamanya, “Kamu tidak tahu kalau shalat tahiyatul masjid itu wajib?”(*) Ketika itu Ibnu Hazm berusia 26 tahun. Ia lantas merenung dan baru memahami apa yang dimaksud oleh gurunya.

Kemudian Ibnu Hazm melakukan shalat jenazah di masjid. Lalu ia berjumpa dengan kerabat si mayit. Setelah itu ia kembali memasuki masjid. Ia segera melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Kemudian ada yang berkata pada Ibnu Hazm, “Ayo duduk, ini bukan waktu untuk shalat”(**).

Setelah dinasehati seperti itu, Ibnu Hazm akhirnya mau belajar agama lebih dalam. Ia lantas menanyakan di mana guru tempat ia bisa menimba ilmu. Ia mulai belajar pada Abu ‘Abdillah bin Dahun. Kitab yang ia pelajari adalah mulai dari kitab Al Muwatho’ karya Imam Malik bin Anas.

* Perlu diketahui bahwa hukum shalat tahiyatul masjid menurut jumhur –mayoritas ulama- adalah sunnah. Sedangkan menurut ulama Zhohiriyah, hukumnya wajib.

** Menurut sebagian ulama tidak boleh melakukan shalat tahiyatul masjid di waktu terlarang untuk shalat seperti selepas shalat Ashar. Namun yang tepat, masih boleh shalat tahiyatul masjid meskipun di waktu terlarang shalat karena shalat tersebut adalah shalat yang ada sebab.

Teladan 9 – Teladan dari Syaikh ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam

Beliau adalah ulama yang sudah sangat tersohor dan memiliki lautan ilmu. Pada awalnya, Imam Al ‘Izz sangat miskin ilmu dan beliau baru sibuk belajar ketika sudah berada di usia senja.

Teladan 10 – Teladan dari Syaikh Yusuf bin Rozaqullah 

Beliau diberi umur yang panjang hingga berada pada usia 90 tahun. Ia sudah sulit mendengar kala itu, namun panca indera yang lain masih baik. Beliau masih semangat belajar di usia senja seperti itu dan semangatnya seperti pemuda 30 tahun.

Jika kita telah mengetahui 10 teladan di atas dan masih banyak bukti-bukti lainnya, maka seharusnya kita lebih semangat lagi untuk belajar Islam. Dan belajar itu tidak pandang usia. Mau tua atau pun muda sama-sama punya kewajiban untuk belajar. Inilah yang penulis sendiri saksikan di tengah-tengah belajar di Saudi Arabia, banyak yang sudah ubanan namun masih mau duduk dengan ulama-ulama besar seperti Syaikh Sholeh Al Fauzan, bahkan mereka-mereka ini yang duduk di shaf terdepan.

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,

مَنْ لَا يُحِبُّ الْعِلْمَ لَا خَيْرَ فِيهِ

“Siapa yang tidak mencintai ilmu (agama), tidak ada kebaikan untuknya.”
Ya Allah berkahilah umur kami dalam ilmu, amal dan dakwah. Wabillahit taufiq.


Referensi:
  • ‘Uluwul Himmah, Muhammad bin Ahmad bin Isma’il Al Muqoddam, terbitan Dar Ibnul Jauzi, hal. 202-206.
  • Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfaazhil Minhaaj, Syamsuddin Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini, terbitan Darul Ma’rifah, cetakan pertama, 1418 H, 1: 31.

@ KSU, Riyadh, KSA, 4 Jumadats Tsani 1433 H

Kuliah Sambil Ngaji

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
 
Kegiatan kuliah terasa amat menyibukkan. Sibuk dengan berbagai tugas, harus buat presentasi, menyusun laporan praktikum dan lebih sibuk lagi jika sudah menginjak semester-semester akhir. Apakah mungkin kesibukan ini bisa dibarengi dengan menuntut ilmu agama? Jawabannya, mungkin sekali. Segala kemudahan itu datang dari Allah. Maka bisa saja seorang engineer menjadi pakar fiqih. Bisa jadi pula seorang ekonom menjadi pakar hadits. Atau seorang ahli biologi menjadi hafizh Al Qur’an. Semua itu bisa terwujud karena anugerah dan kemudahan dari Allah.

Realitas, Lebih Banyak Menyia-nyiakan Waktu

Mahasiswa sebenarnya punya banyak waktu senggang. Cuma sebagian mahasiswa saja yang benar-benar menyia-nyiakan waktunya. Tidak setiap saat ia mesti mendapatkan tugas. Tidak setiap hari mesti kerjakan laporan praktikum. Mahasiswa yang tidak pintar membagi waktu saja yang selalu “sok sibuk”.

Sebagian mahasiswa masih bisa menyisihkan waktu untuk renang dengan shohib dekatnya. Ia masih sempat juga untuk fitness meskipun di kala laporan praktikum menumpuk. Ia juga masih sempat berpetualang menjelajah berbagai gunung meskipun minggu depan ada ujian mid. Ia masih bisa begadang semalam suntuk untuk menanti pertandingan Liga Champions meskipun katanya ada banyak tugas yang mesti diselesaikan. Sebagiannya pula bisa menyisihkan waktu untuk update status setiap jam di FB (Facebook), twitter dan semacamnya. Mau tidur, mau makan, mau renang, bahkan mau ke WC sekali pun bisa ada statusnya di jejaring sosial tadi. Namun soal ngaji (istilah untuk mendalami ilmu agama) bisa menjadi nomor sekian baginya. Padahal aneh kan, hal-hal tadi bisa ia lakukan. Sedangkan berkaitan dengan urusan akhiratnya di mana ia wajib mempelajari Islam karena ibadah-ibadah tertentu akan ia lewati setiap harinya. Setiap muslim tentu mesti mengetahui bagaimanakah ia harus berwudhu yang benar sehingga shalatnya pun bisa sah. Ia pun  harus tahu apa saja yang termasuk pembatal-pembatal shalat, sehingga shalatnya tidak jadi sia-sia. Ia pun harus tahu bagaimana mandi wajib.

Lihatlah mereka bisa menyisihkan waktu untuk hal-hal dunia yang kadang sia-sia. Namun untuk hal yang menyangkut akhirat mereka, di mana tentu ini lebih urgent, mereka tidak bisa membagi waktu dengan baik. Benarlah firman Allah Ta’ala,

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar Ruum: 7).

Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi hafizhohullah menjelaskan, “Mereka mengetahui kehidupan dunia secara lahiriah saja seperti mengetahui bagaimana cara mengais rizki dari pertanian, perindustrian dan perdagangan. Di saat itu, mereka benar-benar lalai dari akhirat. Mereka sungguh lalai terhadap hal yang wajib mereka tunaikan dan harus mereka hindari, di mana penunaian ini akan mengantarkan mereka selamat dari siksa neraka dan akan menetapi surga Ar Rahman.” (Aysarut Tafasir, 4/124-125)
 
Beberapa Sampel

Beberapa orang bisa membuktikan bahwa mereka di samping kuliah di pagi hari, sore harinya masih bisa “ngaji” (menuntut ilmu agama). Bahkan ada di antara mahasiswa yang bisa menjadi hafizh Al Quran dengan sempurna di masa kuliahnya. Ada pula yang bisa menguasai ilmu aqidah dengan baik padahal ia seorang dokter. Setelah kuliah pun ia bisa menyusun beberapa buku berkaitan dengan masalah aqidah dari hasil ia belajar di saat-saat kuliah dulu (paginya kuliah, sorenya ia duduk di majelis ilmu). Ada pula yang amat pakar dalam bahasa Arab dan menjadi seorang ustadz yang mumpuni dalam hal aqidah serta ilmu lainnya, padahal ia adalah sarjana biologi. Yang lainnya lagi adalah seorang dosen (lulus S3), namun tidak diragukan ia sangat mumpuni dalam ilmu hadits hasil dari belajar dulu  bersama beberapa ustadz di saat-saat ia kuliah. Bahkan di Arab Saudi sendiri ada seorang ulama yang dulunya adalah seorang yang belajar ilmu Teknik Kimia. Dan saat ini, beliau menjadi imam dan ulama yang jadi rujukan. Ia pun memiliki situs yang berisi berbagai fatwa yang sering dikunjungi dari berbagai negara. Ada lagi ulama yang dahulunya belajar ilmu teknik mesin. Saat lulus ia mendalami ilmu hadits dan menjadi hafizh al quran. Karya-karya beliau dalam tulisan pun amat banyak. Dua ulama yang kami sebutkan di sini adalah Syaikh Sholeh Al Munajjid dan Syaikh Musthofa Al Adawi hafizhohumallah.

Itu sekedar beberapa contoh riil yang kami ketahui. Kami yakin masih banyak contoh-contoh lainnya yang mungkin para pembaca sendiri mengetahuinya. Ini pertanda bahwa orang yang belajar ilmu umum (ilmu teknik, ekonomi, IT, dll) sebenarnya tidak terhalang untuk belajar agama bahkan bisa menjadi ulama atau pun ustadz karena kerajinannya di luar jam kuliah untuk mengkaji Islam. Itulah karunia Allah untuk mereka-mereka tadi.

Mulai Belajar Islam

Kalau sudah tahu demikian, Anda selaku mahasiswa seharusnya tidak usah ragu lagi untuk menaruh perhatian pada ilmu diin (ilmu agama). Cobalah mulai dengan mempelajari Islam mulai dari dasar. Terutama pelajarilah hal-hal yang wajib yang jika Anda tidak mengetahuinya maka bisa terjerumus dalam dosa atau bisa meninggalkan kewajiban. Inilah ilmu yang wajib dipelajari.

Selaku mahasiswa wajib punya ilmu aqidah dan tauhid yang benar sesuai dengan pemahaman generasi terbaik Islam (salafush sholeh). Cobalah mempelajari beberapa tulisan karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab seperti Qowa’idul Arba’ (empat kaedah memahami syirik), Tsalatsatul Ushul (tiga landasan dalam mengenal Allah, Islam dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), dan Kitab Tauhid (pelajaran tauhid dan syirik secara lebih detail). Kitab-kitab aqidah pun ada yang mudah dipelajari seperti Al ‘Aqidah Al Wasithiyah karya Ibnu Taimiyah dan Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah karya Abu Ja’far Ath Thohawiy.

Anda pun wajib mempelajari fiqih secara bertahap terutama pelajaran bagaimana cara wudhu yang benar, bagaimana cara mandi wajib, dan bagaimana shalat yang benar serta berbagai hal yang berkaitan dengan hal-hal tadi. Amat mudah jika Anda menguasai dari fiqh madzhab sebagaimana anjuran para ulama. Karena di negeri ini menganut madzhab Syafi’i, Anda bisa belajar dari berbagai kitab fiqh Syafi’iyah. Pelajari dari matan-matan yang ringkas seperti kitab Al Ghoyah wat Taqrib karya Abu Syuja’ dan Minhajuth Tholibin karya Imam An Nawawi. Inilah kitab dasar yang bisa Anda kuasai. Setelah itu bisa melanjutkan dengan kitab fiqih yang lebih advance dengan mendalami dalil-dalil lebih jauh. Baru setelah itu bisa menelaah berbagai pendapat ulama dan perselisihan mereka dalam hal fiqih sehingga akhirnya kita tidak fanatik pada satu madzhab atau satu imam. Anda pun bisa menguasai fiqih melalui berbagai buku hadits seperti dari kitab ‘Umdatul Ahkam karya ‘Abdul Ghoni Al Maqdisi dan kitab Bulughul Marom karya Ibnu Hajar Al Asqolani. Untuk memahami kitab-kitab fiqih ini, Anda bisa memiliki berbagai kitab syarh (penjelasan) dari masing-masing kitab.

Buku-buku yang kami sebutkan di atas sudah cukup mudah ditemukan saat ini di berbagai toko buku Islam bahkan sudah banyak yang diterjemahkan. Sehingga tidak ada alasan bagi yang belum menguasai bahasa Arab untuk terus belajar. Namun jika Anda sambil menguasai bahasa Arab terutama menguasai grammar-nya dalam ilmu Nahwu dan Sharaf itu lebih baik. Karena menguasai bahasa tersebut bisa membuat Anda meneliti lebih jauh kitab-kitab ulama secara lebih mandiri.

Selain mempelajari hal-hal di atas, tambahkan pula dengan mempelajari berbagai kitab akhlaq dan tazkiyatun nufus (manajemen hati). Juga janganlah sampai tinggalkan hafalan Al Qur’an. Karena orang yang menghafal Al Qur’an sungguh memiliki banyak keutamaan dan faedah di tengah-tengah umat. Lebih-lebih di akhirat hafalan Al Qur’an ini membuat dia lebih ditinggikan derajat di surga. Lalu para ulama pun menganjurkan untuk menghafal berbagai matan atau berbagai kitab ringkas seperti menghafalkan kitab kecil yang berisi 42 hadits yaitu Al Arba’in An Nawawiyah. Menghafal seperti ini memudahkan kita menguasai ilmu Islam dengan lebih mudah.

Sabar dalam Belajar

Kalau dilihat, terasa begitu banyak yang harus dipelajari. Sebenarnya tidak juga karena mempelajari berbagai buku di atas itu bertingkat-tingkat. Ada yang lebih dasar, baru setelah itu beranjak pada yang lebih lanjut. Jadi belajar yang baik adalah secara bertahap. Sehingga di sini butuh kesabaran dalam belajar dan belajar butuh waktu yang lama. Yang terbaik pula adalah belajar di majelis ilmu lewat guru. Lihatlah sya’ir Imam Asy Syafi’i,

أَخِي لَنْ تَنَالَ الْعِلْمَ إلَّا بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيكَ عَنْ تَفْصِيلِهَا بِبَيَانِ

ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَبُلْغَةٌ وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُولُ زَمَانٍ
Saudaraku … ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam perkara yang akan saya beritahukan perinciannya : (1) kecerdasan, (2) semangat, (3) sungguh-sungguh, (4) berkecukupan, (5) bersahabat (belajar) dengan ustadz, (6) membutuhkan waktu yang lama.

Pintar Bagi Waktu

Modal yang penting “nyambi” belajar Islam adalah pintar membagi waktu. Cobalah membagi waktu mulai dari Shubuh hari sudah bisa menghafal Al Qur’an. Butuh satu jam untuk menyisihkan waktu kala itu. Setelah itu sediakan waktu untuk persiapan kuliah di pagi hari. Pukul 7 atau 8 sudah bisa berangkat ke kampus. Di waktu-waktu shalat atau waktu senggang saat di kampus bisa digunakan untuk muroja’ah Al Qur’an atau mengerjakan tugas-tugas kampus sehingga tidak menumpuk keesokan harinya. Pulang kampus di siang atau sore hari bisa istirahat sejenak untuk menghilangkan rasa capek. Di sore hari sehabis ‘Ashar bisa digunakan untuk mengikuti berbagai majelis ilmu sampai dengan waktu ‘Isya. Di waktu malam bisa digunakan untuk mengerjakan tugas kuliah. Sebelum tidur bisa digunakan menghafal berbagai matan, mengulang hafalan Al Qur’an atau mengulang pelajaran yang ikuti di kajian.

Jadi cuma kepintaran saja membagi waktu, niscaya kita bisa kuliah sambil “ngaji”. Dan jangan lupakan minta pertolongan Allah agar dimudahkan mempelajari agama di samping kuliah. Doa ini amat menolong. Jika kita memohon kemudahan pada Allah, pasti segala urusan tadi akan begitu mudah. Berbeda halnya jika kita bergantung pada diri sendiri yang begitu lemah.

Semoga Allah mudahkan kita selaku mahasiswa untuk dapat meraih keduanya, bahkan bisa menjadi pakar pula dalam ilmu agama dan bisa turut membantu dakwah agar tersebar seantero negeri kita ini.

Wallahu waliyyut taufiq.

Panggang-Gunung Kidul, 24 Jumadal Ula 1432 H (27/04/2011)

Mahasiswa Harus Berilmu Sebelum Beramal

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
 
Kewajiban belajar agama bukan hanya bagi mahasiswa yang duduk di Jurusan Syari’ah atau yang belajar di Universitas Islamiyah. Mahasiswa teknik dan kedokteran serta mahasiswa mana pun punya kewajiban yang sama. Ada kadar wajib dari ilmu agama yang mesti setiap mahasiswa pelajari. Karena tidak adanya ilmu agama itulah yang menyebabkan mahasiswa banyak yang salah jalan dan salah langkah. Akhirnya ada yang asal berkoar, namun bagai tong kosong nyaring bunyinya dan ujung-ujungnya tidak mendatangkan maslahat malah mengundang petaka.

Dasari Segalanya dengan Ilmu

Seorang dokter misalnya tidak bisa mengobati pasien sembarangan, ia harus mendasarinya dengan ilmu. Jika ia nekad, maka bisa berujung kematian pada pasien. Begitu pula halnya dengan seorang muslim. Dalam beramal dan bertindak, ia harus mendasari segalanya dengan ilmu. Imam Syafi’i berkata,

مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ ، وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ

Siapa yang ingin dunia, wajib baginya memiliki ilmu. Siapa yang ingin akherat, wajib baginya pula memiliki ilmu.” (Dinukil dari Mughnil Muhtaj)

Ilmu tidaklah diperoleh tiba-tiba layaknya ilmu laduni yang diyakini kaum sufi. Namun ilmu itu diraih dengan belajar siang dan malam. Sebagaimana kata Ibnu Syihab Az Zuhri, seorang ulama di masa tabi’in, di mana beliau berkata,

من رام العلم جملة ذهب عنه جملة وإنّما العلم يطلب على مرّ الأيام واللّيالي

Siapa yang terburu-buru meraih ilmu dalam jumlah banyak sekaligus, maka akan hilang dalam jumlah banyak pula. Yang namanya ilmu dicari siang demi siang dan malam demi malam.” (Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam kitab Al Jaami’)

Jika seseorang tidak mendasari tindakannya dengan ilmu, ujung-ujungnya hanya mendatangkan bencana. Sebagaimana kata ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz,

مَنْ عَبَدَ اللَّهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ

Barangsiapa beribadah pada Allah tanpa ilmu, maka kerusakan yang ia perbuat lebih banyak daripada mendatangkan maslahat.” (Dinukil dari Majmu’ Al Fatawa Ibnu Taimiyah, 2: 382)

Ilmu yang Diprioritaskan

Tentu yang lebih diprioritaskan bagi setiap muslim untuk dipelajari adalah ilmu akidah dan tauhid. Karena kaum muslimin -bahkan banyak dari mereka- yang tidak mengetahui apa saja yang merusak akidah dan tauhidnya. Seperti akidahnya masih bercampur dengan pemahaman penolak atau penta’wil sifat. Ketika ditanyakan Allah di mana, jawabannya pun beraneka ragam. Padahal berbagai dalil sudah menyebutkan bahwa Allah itu menetap tinggi di atas 'Arsy seperti ayat,

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah. Yang beristiwa' (menetap tinggi) di atas 'Arsy” (QS. Thoha : 5). 

Sebagian ulama besar Syafi’iyah mengatakan bahwa dalam Al Qur’an ada 1000 dalil atau lebih yang menunjukkan Allah itu berada di ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya. Dan sebagian mereka lagi mengatakan ada 300 dalil yang menunjukkan hal ini.

Imam Asy Syafi’i berkata, “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya” (Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 165). Ini masalah besar tentang Allah, namun banyak yang keliru menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan bahwa Allah di mana-mana atau ada yang mengatakan bahwa Allah di dalam hati. Padahal ada perkataan keras dari Abu Hanifah, “Jika seseorang amengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.” Beliau mengatakan demikian setelah ada yang menyatakan bahwa ia tidak mengetahui di manakah Allah, di langit ataukah di bumi (Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 135-136).

Begitu pula sebagian mereka memahami bahwa sah-sah saja memberontak atau tidak taat pada penguasa apalagi penguasa yang berbuat maksiat semacam korupsi. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka” (HR. Muslim no. 1847).

Dalam Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan mengenai hadits di atas,

فتبين أن الإمام الذي يطاع هو من كان له سلطان سواء كان عادلا أو ظالما

“Jelaslah dari hadits tersebut, penguasa yang wajib ditaati adalah yang memiliki sulthon (kekuasaan), baik penguasa tersebut adalah penguasa yang baik atau pun zholim”

Imam Nawawi rahimahullah juga berkata,

وَأَمَّا الْخُرُوج عَلَيْهِمْ وَقِتَالهمْ فَحَرَام بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ ، وَإِنْ كَانُوا فَسَقَة ظَالِمِينَ.

“Adapun keluar dari ketaatan pada penguasa dan menyerang penguasa, maka itu adalah haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama, walaupun penguasa tersebut adalah fasik lagi zholim”  (Syarh Muslim, 12: 229).

Gara-gara tidak memahami akidah Ahlus Sunnah di atas, sebagian mahasiswa pun salah dalam bertindak ketika menyikapi penguasa yang zholim. Mereka sungguh lancang menggumbar aib penguasa di mimbar-mimbar dan tempat umum. Padahal yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tuntunkan adalah,

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ لَهُ

Barangsiapa yang hendak menasihati pemerintah dengan suatu perkara maka janganlah ia tampakkan di khalayak ramai. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangan penguasa (raja) dengan empat mata. Jika ia menerima maka itu (yang diinginkan) dan kalau tidak, maka sungguh ia telah menyampaikan nasihat kepadanya. Dosa bagi dia dan pahala baginya (orang yang menasihati)” (HR. Ahmad 3: 403. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lain).

Di antara mahasiswa pun ada yang masih percaya dengan ramalan dan hal-hal yang berbau klenik, yang itu semua tidak bisa lepas dari syirik dan menunjukkan cacatnya tauhid. Dari sini menunjukkan bahwa perlu adanya pembinaan akidah dan prinsip beragama yang benar. Setelah akidah dan tauhid ini dibenarkan, yang tidak kalah penting adalah mempelajari ibadah yang harus dikerjakan setiap harinya seperti wudhu, shalat dan puasa. Begitu pula ditambah dengan cara bermuamalah dan berakhlak terhadap sesama tidak kalah penting untuk dikaji dan dipelajari.

Jangan Asal-Asalan Bertindak

Jika kita sudah mengetahui prinsip penting dalam beragama, maka setiap mahasiswa pun harus menyadari bahwa mereka tidak boleh asal-asalan dalam bertindak. Walaupun kadang hasil mereka nyata, namun kalau jalan yang ditempuh keliru, yah kita katakan keliru. Lihatlah kisah yang disebutkan Abu Hurairah berikut.

Abu Hurairah berkata bahwa beliau mengikuti perang Khoibar. Lantas Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada orang yang mengaku membela Islam, “Ia nantinya penghuni neraka.” Tatkala orang tadi mengikuti peperangan, ia sangat bersemangat sekali dalam berjihad sampai banyak luka di sekujur tubuhnya. Melihat pemuda tersebut, sebagian orang menjadi ragu dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ternyata luka yang parah tadi membuatnya mengambil pedang dan membunuh dirinya sendiri. Akhirnya orang-orang pun berkata, “Wahai Rasulullah, Allah membenarkan apa yang engkau katakan.” Pemuda tadi ternyata membunuh dirinya sendiri. Rasul pun bersabda,

إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلاَّ نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ ، وَإِنَّ اللَّهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّينَ بِالرَّجُلِ الْفَاجِرِ

Berdirilah wahai fulan (yakni Bilal), serukanlah: Tidak akan masuk surga melainkan seorang mukmin. Allah mungkin saja menolong agama ini melalui laki-laki fajir (ahli maksiat).” (HR. Bukhari no. 3062 dan Muslim no. 111).

Coba kita renungkan kisah di atas. Orang tersebut memang benar memperjuangkan Islam, namun ia keliru dan salah jalan karena ia membunuh dirinya sendiri. Sehingga yang benar adalah tempuhlah jalan yang benar dalam memperjuangkan Islam dan akan diperoleh hasil yang sesuai harapan.

Tidak cukup bermodalkan semangat, segala tindakan itu butuh ilmu. Kata Imam Bukhari, “Ilmu itu sebelum berkata dan bertindak.” Wallahu waliyyut taufiq. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

[Dari seorang mahasiswa S2 Teknik Kimia KSU Riyadh KSA yang peduli terhadap sesama]
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, pengasuh Muslim.Or.Id dan Rumaysho.com

Panggang-GK, 11 Ramadhan 1433 H

Adab Kepada Orang Yang Lebih Tua

Islam sebagai syari'at yang lengkap dan paripurna telah mengajarkan umatnya adab dan tata krama kepada sesama manusia. Yang demikian supaya tercipta keharmonisan  dan hubungan yang baik diantara mereka,  dan lebih jauh diharapkan dengan keharmonisan ini bisa  terwujud komunitas masyarakat yang  damai yang melaksanakan ibadah kepada Allah ta'aalaa dengan sebaik mungkin.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Review